Satu minggu terakhir….
.
Pemberitaan media begitu sarat dengan tragedi kecelakaan si burung besi Lion Air JT 610 tujuan Jakarta – Pangkal Pinang, yang jatuh di perairan Karawang pada tanggal 29 Oktober 2018 lalu.
.
Pemberitaan ini bahkan mengalahkan berita utama di negeri ini, tentang musibah besar gempa dan tsunami Palu dan Donggala, yang lagi-lagi menjadi musibah ke sekian setelah peristiwa gempa Lombok sekitar 3 bulan yang lalu.
.
Ah, negeriku…Ada apa dengan dirimu??
.
Bahkan seribu satu pro dan kontra di sosial media takkan mampu mencari tahu apa sebenarnya yang Dia rencanakan di balik semua kejadian ini.
.
.
.
Kembali pada tragedi jatuhnya pesawat Lion Air…
.
Ingatanku seolah melayang pada masa puluhan tahun silam…
Pada masa kecil dimana naik pesawat masih menjadi sesuatu yang eksklusif, dan beruntungnya, aku telah diberi kenikmatan untuk merasakannya.
.
Bouraq, Merpati, dan tentu saja sang pelopor penerbangan Garuda Indonesia, adalah sederet nama maskapai yang sangat berjaya pada masa itu.
.
Tiga maskapai tersebut memberikan pelayanan yang istimewa dan sungguh memuaskan. Pilihan makanan dan minuman tersaji lengkap beserta kemasannya yang tampil ekslusif bak suvenir pernikahan. Ah, kenapa tak ada satu pun yang sempat aku dokumentasikan, ya? Betapa sesal kemudian serasa tak berguna.
.
Harga tiket pesawat pada era 80-90an itu mungkin tak ada yang diobral seperti zaman now. Tak ada istilah tiket promo, atau rebutan kursi promo.
.
Bahkan aku ingat, saat berusia 6 tahun, almarhum Bapak pernah mengatakan usiaku masih 5 tahun kepada petugas saat membeli tiket di loket. Tidak lain tidak bukan agar aku boleh duduk di pangkuan Bapak, tanpa harus membeli kursi sendiri. Lumayan bisa menghemat satu orang kan? ^^ Hemm…. ide yang cerdas…
.
Di masa itu jarang sekali ku dengar ada kecelakaan pesawat. Maka ketika tiket pesawat di masa kini semakin banyak diobral, seiring munculnya begitu banyak maskapai baru, dan impian naik pesawat telah menjadi kisah nyata milik semua orang, kenapa justru begitu banyak tragedi kecelakaan mengiringinya?
Bukankah seharusnya segalanya menjadi lebih baik?
.
Alat, sistem, fasilitas, kinerja, dan SDM seharusnya menjadi lebih rapi dan teratur seiring berkembangnya segala kemudahan yang ada.
.
Ahh…. teori dan asal bicara memang terlalu mudah diucapkan, ya Dears 😁
Siapa lah aku yang hanya seorang penumpang, yang saat ini hanya mampu menekan keypad di smartphone untuk sekadar menuliskan sepenggal opini berbasis masa lalu ini.
.
Kalau diizinkan bicara, aku hanya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya aku mencintai langit, pesawat, dan segala hal berbau angkasa.
.
Cita-citaku dulu ingin menjadi seorang Pramugari dan Astronot. Entah apakah aku cukup cantik atau tidak saat itu heehhee…. tapi terlalu sering melihat mbak-mbak cantik itu di pesawat membuatku ingin menjadi seperti mereka. Sedangkan pilihan menjadi Astonot terpatri di dalam hati, lantaran saat itu sedang booming pemberitaan tentang calon Astronot pertama Indonesia bernama Dr. Pratiwi Sudharmono.
.
Bukankah nama kami sama-sama Pratiwi? Siapa tahu keberuntungan juga memihakku? 😅
.
.
Namun, ketika akhirnya masa remaja tiba dan tinggi badan tak memadai dalam persyaratan menjadi seorang Pramugari, cita-citaku seketika berubah ingin menjadi seorang Diplomat dan Penyiar Televisi. *cukup pilih salah satu, Diplomat atau Penyiar ya, jangan kau duakan cintamu #eeaaa #upss
.
Selanjutnya, aku sudah cukup puas melihat mbak-mbak Pramugari cantik itu setiap kali naik pesawat dan memperhatikan seragam mereka. Sesungguhnya ada sebersit rasa syukur di dalam hati, karena salah satu persyaratan tes menjadi Pramugari yang pernah kubaca adalah harus mengenakan rok di atas lutut. Ah, bukan aku banget itu. Aku terlalu sopan dan pemalu melakukan itu ☺ Tampaknya Dia Yang Maha Mengetahui sudah sangat pas mengatur segalanya, dengan tidak mengizinkanku menjadi seorang cabin crew.
.
Kini ku tahu, tak selamanya sesuatu yang terlihat menyenangkan dan wah selalu indah seperti yang kubayangkan.
Apalagi setelah beberapa hari lalu menyaksikan tayangan di sebuah televisi swasta, tentang wawancara bersama seorang Pramugari yang menjadi salah satu korban dalam kecelakaan maskapai singa terbang ini beberapa tahun yang lalu. Ia bercerita harus menjalani berkali-kali operasi untuk memperbaiki anggota tubuh dan tekstur wajahnya akibat kecelakaan itu, tanpa ada bantuan dari pihak perusahaan. Ia pun menuturkan ketidakjelasan sistem kontrak yang diterapkan, karena ia dan rekan sejawatnya masih terlalu muda saat itu. Bisa diterima sebagai Pramugari dan berkeliling Indonesia dengan pesawat saja sudah merupakan suatu kebanggaan baginya dan teman-teman, tanpa terpikir hal lain terkait perjanjian kerja dan sejenisnya.
.
Miris memang, sekaligus prihatin mendengarnya.
Tapi sekali lagi…
Siapalah aku?
Yang hanya mampu menautkan beberapa rangkai kalimat dalam kenangan akan cita-cita masa lalu.
.
Tapi tak perlu khawatir, aku masih tetap penggemarmu yang dulu.
.
Masih tetap cinta langit, pesawat, dan segala hal yang berbau angkasa… 💕
💜💛💚