Saya menghirup aroma susu jahe yang berasal dari mug di depan saya. Sudah pukul sebelas malam, tetapi kami masih asyik mengobrol sambil menonton berita di televisi. Ya … kami–saya dan Ibu. Sesekali, saya mengetikkan jari dan serius menatap layar laptop, sementara Ibu masih asyik bercerita sambil menatap layar televisi.
Kurang kerjaan, ya, sampai tengah malam belum tidur? Heheheee … begitulah kami. Mau ada kerjaan atau tidak, saya dan Ibu terbiasa tidur setelah lewat tengah malam. Bukan berarti tidak mengindahkan kesehatan. Justru waktu berkualitas untuk bercerita, terutama bagi Ibu adalah menjelang tengah malam, setelah cucunya (anak perempuan saya) terlelap di kamarnya, dan saya baru mulai membuka laptop untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda.
Ibu … sosok yang menurut saya perfeksionis. Selalu menuntut kesempurnaan. Banyak orang yang selama ini salah menilai hubungan kami. Mereka menganggap hubungan saya dan Ibu sangat harmonis, tanpa cela, dan kami memiliki ketergantungan satu sama lain. Faktanya? Tidak demikian, Ferguso!
Dahulu, sebelum memiliki anak, saya sebenarnya sama saja dengan anak muda lainnya yang pernah mengalami fase “memberontak”, ngeyel, setiap orang tua bicara selalu dibalas dan dijawab dengan jawaban kontra atau tidak setuju, dan tindakan keras kepala lainnya. Saya, yang dari luar terlihat kalem dan tidak banyak bicara, bisa menjadi sangat keras kepala di depan Ibu.
Anehnya, di depan Bapak rahimahullah, saya tidak berani seperti itu. Ya, karena Bapak adalah orang yang keras, sementara Ibu, lebih mirip saya, tampak kalem dari luar, tetapi memiliki prinsip yang tidak mudah goyah. Makin ke sini, setelah mempelajari hal-ihwal kepribadian manusia, saya merasa karakter Ibu memang mirip saya, sama-sama menuntut kesempurnaan. 😀
Sisi positif setelah mengetahui hal itu, setiap saya merasa kontra dengan pemikiran Ibu dan ingin protes, saat itu juga saya sadar bahwa karakter Ibu mirip saya. Jadi, sayalah yang harus mengalah dan memahami beliau karena sudah memahami ilmunya. Apa pun pemikiran beliau, semua adalah hasil dari keinginannya dengan tujuan menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Alhamdulillah, Ibu juga bukan tipe orang tua yang konservatif dan tidak mau dinasihati anaknya. Jika ingin melakukan sesuatu, beliau selalu meminta pendapat saya terlebih dahulu. Makin ke sini dan bertambah umur, kami mulai saling menyeimbangkan ego masing-masing. Nggak ada, tuh, prinsip “makin tua makin seperti anak kecil yang harus dituruti maunya”. Big no, insya Allah.
Ibu dan Masa Lalunya
Ibu dan prinsip teguhnya yang menuntut kesempurnaan sebenarnya bukan tanpa alasan. Menjadi anak yatim sejak kecil dan bertambah status lagi menjadi yatim piatu mulai usia remaja memaksanya mengambil banyak keputusan hidup seorang diri. Ibu yang berasal dari salah satu desa di Kelurahan Selomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, harus menjadi kakak untuk seorang adik laki-lakinya yang masih membutuhkan kasih sayang orang tua.
Mengerjakan sawah, mengurus rumah, memasak adalah tugas-tugas keseharian Ibu sejak kecil hingga remaja. Sampai saat ini, saya masih bengong dan bingung bagaimana Ibu bisa tahu segala macam ilmu, mulai dari ilmu menanam, ilmu pertukangan, ilmu jualan, dan segala macam hal, sampai urusan jual beli tanah, beliau paham semua.
Memasuki usia di atas 20 tahun, Ibu menikah dengan Bapak rahimahullah yang masih terhitung sebagai kakak sepupunya. Karena Bapak bekerja di Pulau Lombok, Ibu harus mendampingi Bapak ke luar Jawa dan meninggalkan adik laki-laki satu-satunya di rumah peninggalan orang tuanya.
Ibu dan Masa Depannya
Setelah menikah, jiwa kepemimpinan Ibu makin terasah. Dikaruniai dua orang anak, saya dan kakak laki-laki, menuntut Ibu menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga murni karena kesibukan Bapak yang lebih banyak di luar rumah.
Tak cukup sampai di situ. Karena Bapak bekerja di BUMN, Ibu memiliki kewajiban sebagai anggota Dharma Wanita dengan seabreg kegiatan. Apalagi di daerah, aktivitas Dharma Wanita sangat diangkat sebagai salah satu upaya memberdayakan para istri agar memiliki pengetahuan organisasi untuk menunjang karier para suami. Saya yakin, ragam ilmu yang Ibu miliki berawal dari aktivitasnya di organisasi ini.
Pengalaman mengikuti Bapak berpindah-pindah tugas dan bergaul dengan banyak kalangan, mulai dari bawah hingga atas juga membentuk kepribadian Ibu yang hingga saat ini sangat peduli dengan orang lain yang kekurangan. Nilai-nilai ini saya ambil dan jadikan pedoman untuk diajarkan kepada anak perempuan saya.
Ibu Saat Ini
Meski puluhan tahun hidup di luar Jawa mendampingi Bapak, tidak membuat Ibu lupa akan asal-usulnya sebagai seorang wanita desa. Saat ini, setelah pindah kembali ke tanah kelahirannya, menyabit rumput yang tumbuh lebat, menyapu halaman rumah, menyiram tanaman, membakar tumpukan sampah dan rumput, serta memasak adalah kegiatan harian Ibu yang sangat dinikmatinya.
Di usianya yang hampir 70 tahun, alhamdulillah, Ibu masih terlihat cantik dan sehat, bahkan lebih sehat dan fit dari saya. *tutup muka 😀 Semua teman-teman masa kecil beliau di desa yang tanpa sengaja bertemu pasti berucap, ”Iki Alif, to? Awet nom, lho!” (Ini Alif ‘kan? Awet muda, lo!)
Sebelum Covid-19 melanda, Ibu masih menyempatkan diri mengikuti senam untuk lansia tiga kali dalam seminggu. Namun, setelah pandemi menyapa, beliau memilih berdiam diri di rumah sambil melakukan aktivitas rutinnya yang berhubungan dengan rumput, tanaman, dan dapur. Satu lagi, aktivitas berdebat dengan cucunya yang menjelang usia 13 tahun adalah hal yang mau tak mau harus dihadapinya. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala sambil sesekali melerai dan tertawa.
Kalau selama ini banyak yang menganggap hidup satu rumah dengan tiga generasi adalah hal yang memusingkan, menurut saya, ya memang begitu adanya, hahahaaa …. Namun, bukan berarti tidak bisa diambil sisi positifnya, ya! Saya berusaha terbuka dengan anak dan ibu saya.
Kalau Ibu sedang ribut dengan cucunya, saya meminta anak saya untuk diam dan mendengarkan. Prinsipnya sederhana, di dalam agama yang saya anut, seorang muslim wajib memuliakan orang yang lebih tua. Titik, nggak pakai koma. Kalau pun tidak setuju dengan pendapat orang tua, semua ada caranya. Ini yang saya ajarkan kepada anak saya.
Bagaimana dengan ibu saya? Sama. Saya juga sering menasihati Ibu bahwa anak sekarang ya memang seperti itu. Jangankan Ibu sebagai seorang eyang, saya sendiri sebagai seorang ibu sering gemessss melihat kata-kata kontra dan kritis yang dilontarkan anak saya. Wong saya dulu juga begitu ke Ibu, jadi wajar kalau anak saya juga sering protes ke saya. Yang penting protesnya untuk hal-hal yang baik dan memang dilakukan untuk menyalurkan jiwa muda mereka, bukan pemberontakan yang sifatnya radikal.
Ibu, Pahlawan dan Guru Kehidupan
Alhamdulillah, bagi saya, Ibu adalah pahlawan inspiratif yang tak lekang oleh waktu. Usia boleh bertambah, tetapi kebijaksanaan dan ilmu juga harus terus meningkat. Jangan sampai prinsip “orang tua itu seperti anak kecil” menghalangi kita untuk belajar menjadi remaja kembali. Belajar memahami zaman, belajar menambah wawasan, belajar merendahkan ego yang menuntut selalu dimengerti, dan belajar ilmu-ilmu non-akademis lainnya.
Terima kasih, Ibu. Engkau lebih dari sekadar pahlawan yang membela kebenaran, engkau adalah pahlawan yang melahirkan dan mendidik generasi masa depan bangsa dengan sepenuh jiwa. Nilai-nilai moral yang kautanamkan selalu saya bagikan, bukan hanya untuk buah hati sendiri, tetapi juga untuk orang lain melalui status dan tulisan di media sosial.
Tulisan 1000 kata ini takkan mampu menceritakan perjalanan dan suka-duka yang telah kita lalui bersama. Tak perlu banyak bersuara, hanyalah cukup lantunan doa yang selalu saya panjatkan untuk kebahagiaan dan keberkahan hidup kita di dunia dan akhirat.
Jika diperkenankan, saya ingin sekali memberikan #KadoUntukPahlawan dari Kontes Blog Super Bercerita berupa mukena berbahan sutra untuk Ibu. Meski tak pernah dapat menggantikan kasih sayang dan kekuatan beliau mendampingi anak-anaknya, setidaknya mukena tersebut dapat menemani Ibu ketika melangitkan doa untuk anak dan cucunya. Aamiin.
Kontes Blog Super Bercerita
Kamu punya cerita inspiratif juga tentang orang-orang di sekelilingmu? Yuk, tulis di blogmu dan ikuti Kontes Blog Super Bercerita #KadoUntukPahlawan yang diselenggarakan oleh Aplikasi Super mulai 4 April—5 Juni 2022.
Juara 1: Rp2.000.000,00
Juara 2: Rp1.000.000,00
Juara 3: Rp500.000,00
Juara Umum: @Rp500.000,00
Bonus 30 tulisan pertama: @Rp50.000,00
Wah … lumayan kan hadiahnya? Syaratnya apa aja, sih? Langsung aja klik Kontes Blog Super Bercerita untuk mengetahui syarat dan pendaftaran lengkapnya, ya!
Selamat menulis dan mencari “Ibu” dan tokoh inspiratif lainnya yang ada di sekelilingmu. Salam inspirasi! 🙂
Baca Juga
- Ibu, Fondasi Peradaban Generasi
- Tips Single Parent Bahagia ala Saya
- Cara Menghindari Fitnah sebagai Seorang Wanita
Ceritanya sangat menginspirasi, Mbak. Bagaimana perjuangan ibunya yang sejak remaja sudah menjadi tulang punggung, ibu bagi adiknya, sekaligus kepala rumah tangga. Nah, saya penasaran, berapa jarak ibu dan adiknya? Karena di usia muda, adiknya juga harus hidup sendiri.
Tapi katanya, biasanya justru anak perempuan dan ibunya sering beda pendapat. Namun tetap, saling sayang.
Makasih, Mas Bam.
Jarak ibu saya dan adiknya sekitar 5 tahunan.
memang ibu pahlawan yang sulit untuk digantikan kan.. lomba blognya menarik nih kak.
Bener, Koh Deddy. Jadi terharu.
Kalau menceritakan tentang seorang ibu kayaknya tidak cukup hanya dalam satu cerita saja ya mba, kasih sayang ibu untuk anaknya tidak terbatas. Ibu siap berjuang melakukan apapun demi anaknya, sehat selalu untuk ibunya ya mba
Aamiin. Makasih doanya, Mbak Yantiii…
Masya Alloh ibunya hebat mbak, perjuangannya hebat. Memang kalau menceritakan sosok pahlawan, rasanya Ibu memang sangat pantas menjadi pahlawan kehidupan untuk anak-anaknya.
Salam untuk ibunya ya mbak, semoga sehat selalu.
Cerita tentang sosok ibu memang selalu mengandung bawang hiks. Sosok ibu pasti punya tepat istimewa di hati anaknya. Saya jadi ingat ibu saya nih. Lombanya seru temanya. Ikutan juga jangan ya hehe
Aamiin.
Terima kasih, Mbak Antin.
Perjuangan bunda begitu besar. Saya apresiasi kakak yang sudah membuat tulisan ini, dan menjadikan bunda dengan segala perjuangannya sebagai pahlawan kehidupan
Terima kasih, Mas.
Bagiku, ibu juga pahlawanku mbak. Soalnya beliau yang mengasuh, mengurus, mendidik, menyekolahkan hingga menghidupi kami setelah ayah wafat tahun 2001 lalu.
Masyaa Allah.
Sehat selalu untuk ibu Mbak Dyah, ya.
MasyaAllah.. Ibu adalah pahlawan sejati yang tak lekang oleh waktu. Saya juga kadang merasa begitu kak. Gemesss kontra dengan ibu, tapi endingnya selalu kita yang memang membutuhkan sosok ibu. Semoga Allah senantiasa memudahkan kita bakti dengan ibu 🙂
Aamiin.
Sehat selalu untuk ibu tercinta. Di dunia ini selagi masih ada ibu, segeralah bahagiakan ia. Dekati, perhatikan dan sayangi meski udah lanjut usia…
Insya Allah, Teh Okti.
Terima kasih pengingatnya.
ibu adalah pahlawan untuk setiap anak-anaknya yaa. Ibu berjuang tanpa pamrih untuk kebahagiaan anak-anaknya
Sosok ibu memang selalu jadi panutan setiap anak ya, terlebih jasa2 yg diberikannya kepada anak2. Sungguh mulia jasa Ibu.
Duh aku paling lemah nih kalau baca yang seperti ini.. Jadi inget perjuangan ibuku dan apalagi sekarang kami tinggal berjauhan.. jadi kangen… huhu
Sehat selalu ya untuk ibu Kak Diaz…
Luar biasa ya mbak, dari ibu maupun bapak kita belajar banyak hal. Pahlawan itu tidak jauh-jauh, ada di dekat kita
Ah, betul bangettt…
Tanpa ibu apalah artinya kita sebagai anak.
Maka kalau dibilang ibu sebagai teladan dan pahlawan ya memang benar, pahlawan nomor 1 dalam kehidupan
Sepakat, kak Fenni.
Ternyata kebanyakan ibu sama yah, punya sifat perfeksionis kepada anaknya. Mama saya juga demikian, kadang emang jadi sebel dan memberontak. Padahal semua orang tua pasti menyayangi anaknya.
Nanti kalau udah jadi ibu baru sadar kenapa kita cenderung perfeksionis ke anak. Sebenarnya karena kita sayang anak. Aku pun demikian, Mbak.
wah lomba blog ini menarik ya, kalau ngomongin ibu rasanya tiada habisnya. ibu selalu ada di setiap perjalanan hidup kita ya mbak
Iya Mbak.. terharu jadinya.
aku sedih kalau udah bahas ibu. huhuhu
Kenapa, Kak Hawra? 🙁