Holaa… enggak terasa ya, sudah berada di bulan April, dan ini adalah postingan pertama saya, setelah bulan Maret kemarin cuma sempat menulis satu postingan aja di blog. Kenapa pula judulnya jadi serius banget, ‘Syarat menjadi editor’, bukan ”Bagaimana cara menjaga rutinitas menulis yang konsisten’?
Jujur,,. mungkin saya tidak seperti perempuan lainnya yang memiliki kemampuan multitasking, alias bisa melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu. Saya adalah tipikal orang yang sering hilang fokus kalau mengerjakan banyak hal sekaligus. Jadi yang paling baik adalah memilih satu aktivitas yang paling mampu dan nyaman dikerjakan terlebih dahulu. Tentunya memutuskan untuk fokus pada satu hal ini butuh keikhlasan dan hati yang lapang *tsahhh hahahaaa.…
Bulan Maret ini, qadarullah, saya mendapat job sebagai editor di sebuah penerbit yang berlokasi di kota Bandung. Jauh amat, ya. Enggak salah, nih, saya ‘kan tinggal di Jogja? Alhamdulillah, sekarang ‘kan semuanya serba online sehingga bekerja jarak jauh pun tak ada masalah.
Meski sebelumnya pernah mencicipi profesi editor ini di platform wanita online, Estrilook.com, tapi menjadi editor di sebuah penerbitan buku tentunya merupakan hal baru bagi saya. Tugasnya secara umum memang sama, yaitu menyunting tulisan atau naskah yang masuk. Tetapi menjadi editor buku tentunya lebih rempong dan butuh waktu lebih lama, mulai dari proses menyunting naskah yang berlembar-lembar banyaknya, hingga mengecek layout buku, melakukan revisi demi revisi, sebelum akhirnya berlanjut ke proses naik cetak. Btw… bulan ini saya sukses dikejar-kejar deadline menyunting 5 naskah buku, jadi pasti kamu maklum ‘kan kenapa blog ini enggak sempat saya isi? *hiksss
Beberapa pekerjaan lain di luar editing mau enggak mau harus saya tunda dulu. Naskah buku sendiri juga saya pending. Tawaran ngebuzzer juga off dulu. Intinya, saya harus memilih yang paling mampu dan nyaman saya lakukan. Itu kalau saya, ya, Gaesss! Mungkin kamu punya pilihan lain, enggak masalah karena setiap orang berhak menentukan pilihannya masing-masing,
Kenapa Tertarik Menjadi Editor?
Kata ‘editor’ sering saya baca dan dengar sejak zaman kuliah dulu, sewaktu masih magang sebagai jurnalis di sebuah stasiun televisi milik pemerintah di Jakarta. ‘Editor in Chief’ (EIC) di divisi pemberitaan adalah pimpinan yang bertugas menyeleksi dan meng-acc naskah berita yang dibuat oleh para reporter di stasiun teve tersebut, apakah layak ditayangkan atau tidak dalam suatu program berita. Jika naskah beritanya mengandung kontroversi atau berbau politik dan SARA, otomatis akan ditolak oleh EIC, dan si reporter diminta merombak ulang naskah beritanya. Secara umum, tugas EIC ini hampir sama dengan tugas editor pada umumnya, yang bertugas menyeleksi tulisan atau naskah yang ada, apakah layak ditayangkan/dibukukan atau tidak.
Selama ini saya tidak pernah berpikir sama sekali untuk menjadi seorang editor. Jangankan menjadi editor, menjadi penulis atau blogger pun sama sekali tidak tebersit dalam pikiran. Tetapi memang, sejak SMA, nilai pelajaran bahasa Indonesia saya cenderung sangat baik dibandingkan mata pelajaran lain, seperti Matematika atau Kimia. Enggak banget deh kalau yang ini, kwkwkwk….
Bahkan saya ingat, pernah mendapat nilai sempurna (100) ketika diminta menulis surat ucapan terima kasih kepada guru bahasa Indonesia sewaktu masih duduk di kelas 1 SMA. Guru bahasa Indonesia saya saat itu sampai menjelaskan di depan kelas poin-poin apa saja yang membuat beliau memberikan saya nilai sempurna itu kepada teman-teman sekelas. Sayangnya, saya kok enggak kepikiran ya waktu itu untuk menerima job jasa penulisan surat cinta *ehhhh, kacaw heheheee….
Selain alasan di atas, saya juga kerap merasa heran, kenapa setiap kali membaca tulisan atau cerita orang lain yang tata bahasanya kurang pas atau enggak teratur, hati ini sering tergelitik dan merasa kesal sendiri. Ingin rasanya mengubah atau memperbaiki tulisan yang saya baca itu biar lebih nyaman dan mudah dipahami. Nah, kalau kamu memiliki perasaan yang sama, bisa jadi kamu juga memiliki keinginan untuk menjadi seorang editor seperti saya.
Terus… Apa Aja, sih, Syarat Menjadi Seorang Editor?
Dari beberapa referensi yang saya baca, ada beberapa syarat dan poin penting yang bisa kamu latih sebagai dasar untuk menjadi seorang editor. Tidak perlu harus langsung menjadi expert, karena profesi ini sama dengan profesi lainnya yang butuh belajar dan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan ragam bahasa.
- Memahami kaidah ejaan yang baik dan benar dalam bahasa Indonesia
Pernah melihat tulisan yang mengalirrrrrr terus tanpa ada titik komanya atau tanda bacanya sama sekali? Nah, bisa jadi penulisnya belum paham ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Poin ini bisa banget kita pelajari, asal sering-sering mengulik tentang penggunaan berbagai tanda baca dan melihat bermacam-macam bentuk kalimat beserta tanda baca yang mengikutinya.
- Mengerti perbedaan kata baku dan tidak baku
Di zaman teknologi informasi ini, penggunaan beberapa istilah yang biasa digunakan sehari-hari, seperti gadget, baper, kepo, mulai dimasukkan menjadi kata baku bahasa Indonesia. Sementara beberapa kata lain yang biasa kita sebut, seperti ‘antri’, ternyata memiliki kata baku antre. ‘Respon’ ternyata kata bakunya respons (ada penambahan huruf s di belakangnya). Hal semacam ini wajib dipelajari oleh seorang editor dengan sering-sering mengeceknya di Kamus Besar Bahasa Indonesia yang sedang berlaku pada saat itu.
- Memiliki wawasan luas
Syarat ini sebenarnya diperlukan bukan hanya untuk editor saja. Profesi lain, termasuk penulis, juga membutuhkan poin ini. Apa pun profesimu, kalau kamu punya wawasan luas, suka membaca, menonton berita, dan paham berita-berita dunia, ini poin penting yang membuat banyak orang akan nyaman bergaul dan berkomunikasi denganmu. Setuju?
- Memiliki kepekaan bahasa
Kepekaan bahasa ini juga bisa dilatih. Contohnya, saya terkadang bisa mengerti bagaimana karakter seorang penulis hanya dari membaca kalimat-kalimat dan gaya bahasa yang ia gunakan dalam tulisan-tulisannya. Apakah ini berarti saya seorang peramal? kwkwkwk…. Tentu tidak, Esmeralda! Kepekaan ini bisa muncul dengan sendirinya kalau sering kamu latih step by step. Termasuk, kamu akan merasa tidak nyaman apabila menemukan tulisan yang berbau SARA, pornografi, kekerasan, dan tulisan sejenis yang menggelitik relung hati terdalam *ehmmm….
- Sabar dan tidak emosian
Hahhhh??? Sampai segininya? 😀 Lahh… emang kamu pikir lihat naskah atau tulisan dengan kalimat acak-acakan itu menyenangkan? Enggak banget, Milea!! Apalagi kalau kamu sudah punya kepekaan terhadap tulisan, kalau enggak sabar-sabar, tensimu bisa langsung naik lihat tulisan dengan struktur kalimat yang susunannya terbalik-balik. Nah, dalam situasi seperti ini, kesabaran dan kestabilan emosi kita sangat diperlukan. Tarik napas panjang dan senyumin aja. Ini memang sudah tugasmu, ya, enggak usah ngeluh, deh 🙂
- Ikhlas kalau namamu enggak terkenal 😀
Kalau ini mah versi saya, hehehehee….
Tapi bener, loh! Tugas seorang editor itu bisa diibaratkan seperti seorang ART yang diserahin tugas membersihkan dan merapikan rumah dalam kondisi acak-acakan. Tugas ART ini sebenarnya penting banget, meskipun enggak terlihat dan cuma dari belakang layar. Nanti kalau rumahnya sudah rapi dan bersih, orang tahunya dan kenalnya sama yang punya rumah, bukan sama ART-nya.
Ini mirip dengan editor. Kalau sebuah buku atau tulisan disukai pembaca dan best seller, yang dikenal ‘kan penulisnya, bukan editornya. Di sini, kamu enggak boleh protes atau iri karena profesi editor itu memang di belakang layar, Tapi untuk para penulis, enggak ada salahnya juga sih kalau kamu mengucapkan terima kasih dan tidak melupakan jasa editor yang telah membantu memuluskan jalanmu dalam penerbitan buku atau artikel 🙂
- Memiliki kemampuan menulis yang baik
Meskipun tidak harus menghasilkan karya, tetapi ada baiknya jika seorang editor juga memiliki kemampuan menulis yang baik. Apalagi editor dalam penerbitan, adakalanya harus membuat blurb atau rangkuman tulisan di sampul belakang buku yang menarik dan menggugah minat pembaca agar membeli buku tersebut.
Sampai di sini, menurut kamu, apakah profesi editor ini cukup sulit untuk digeluti?
Secara umum mungkin enggak, ya. Tapi kalau dibilang mudah juga tidak, karena memang membutuhkan ketelitian dan kesabaran yang enggak semua orang nyaman berkecimpung di dalamnya.
Yang jelas, syarat untuk menjadi seorang editor bisa banget dipelajari. Terutama untuk kamu yang enggak suka narsis atau muncul di permukaan dan sukanya kerja behind the scene, profesi ini pantas kamu perjuangkan. Setidaknya, profesi editor ini memaksa kita untuk banyak membaca, terutama untuk orang-orang yang suka malas baca buku seperti saya, karena mau enggak mau, suka enggak suka, saya tetap harus membaca naskah, bukan?
Kamu punya syarat lainnya berkaitan dengan editor ini? Yuk, ah… boleh banget kasih pendapat di kolom komentar, ya….
Baca Juga
Betul banget nih sebagai editor harus mengerti kaidah ejaan termasuk yang terbaru ya, mau selalu update juga. Poin sabar dan gak emosian mau aku tamnbahkan juga nih, kalau bisa gak sampai keukeuh sama pendapatnya apalagi merasa paling benar ya. soalnya ada tuh editor yang gitu gak mau nerima masukan juga dari writernya. Eh jadi curcol 😀
😀 Semangattt mbakk…
Editor memang harus luwes ya, nahan diri juga & bisa kerja sama dengan penulis. Aku juga masih belajar, nih.
Ini benar-benar pekerjaan di belakang layar. Nggak semua suka jadi editor karena memang harus siap nggak dikenal…kwkwk. Hanya orang-orang sabarlah yang kuat menjadi editor, Bun.,Saya nggak termasuk…kwkwk. Barakallah, Bun…bangga sama kamuuu…
Ini benar-benar pekerjaan di belakang layar. Nggak semua suka jadi editor karena memang harus siap nggak dikenal…kwkwk. Hanya orang-orang sabarlah yang kuat menjadi editor, Bun.,Saya nggak termasuk…kwkwk. Barakallah, Bun…bangga sama kamuuu…
Apalah daku tanpamu, mbakkk… *jadi terharu
Mantap kak, aku rasa sabar dan kontrol emosi adalah salah satu kunci utama profesi ini, sebab ada beberapa kontributor yang bersikukuh dengan apa yang di kirim
Betulll banget hihiii … ^^
Terima kasih untuk tulisan ini, kak.
Saya gimana mau jadi editor, ngedit tulisan sendiri aja merasa gemes sendiri, perasaan udah dibaca semuanya, ga ada lagi yang typo, tiga hari setelah diposting, baru ngeh pada sub heading ada yang typo. Itu bukan sekali dua kali, sering 😥 .
Salute untuk tim editor.
Iya betul, mbak. Memang ada baiknya setelah menulis kita endapkan dulu semalam tulisannya, besok baru dicek lagi. Biasanya akan terlihat kesalahan yang kemarin belum terdeteksi.
Waah keren banget loh Kak. Aku dari dulu selalu penasaran sama pekerjaan editor (soalnya sering liat tulisan editor di buku sekolahan, makanya penasaran hehe). Pasti ga mudah jadi editor karena harus fokus dan detail.
Aku pun masih terus belajar, mbak.
Semangattttt….
seru nggak sih mbak jadi editor. Tapi kalau aku kayaknya masih jauh sih dari kriteria, soalnya bahasa Indonesia yg baik dan benar itu lumayan sulit buat aku. kadang masih salah, dikira baku ternyata enggak 😀
Hahahaaa seruuu… ayo, cobain, mbak!
Berasa kembali ke zaman SD, belajar bahasa Indonesia lagi.
Wahh konsistensi nya si menurutku yang lumayan susah, seringkali kita cuman angin-anginan soalnya kak wwkwk
Iyap, mas. Apalagi mata, kudu bener lihat tulisan.
Bagian nonteknis yang menyebalkan adalah menahan emosi gara-gara mempertahankan argumen kebahasaan dengan penulis yang bergelar lebih tinggi. Tapi ya dinikmati aja, namanya juga kerja, ga selalu enak. Yang penting dibayar hehe
Pekerjaan apa pun selalu ada tantangannya ya, Mas Rudi.
Terima kasih sudah berbagi pengalaman.
Editor asik juga ya..
Tapi ya harus punya skill yg mumpuni.
Klo editor dari dulu sdh banyak yg work from home ya, heehe
Betul, Mbak Dian.
Apalagi di masa pandemi ini, tertolong sekali dengan fleksibilitas WFH sebagai editor.
Sama kyk suamik kak. Kerja dibelakang layar depan komputer tpi hehehe. Gk ap deh gk dikenal org yg penting kerjaannya bisa ikhlas demi memberikan yg terbaik bagi perusahaan. Penting gaji ngalir jg deh. Wkkwwk
Hehehehee…. yang penting semangattt dan berkah ya, mbak.
Aamiin.
Samaan sih sama kerjaan suami yg edit sana sini depan komputer muluk. Gk ap gk kenal asal gaji mah lempeng aj di bayar ken. Istri mah begitu hahaha
Saya juga sudah beberapa kali ngerasain jadi editor, memang kadang gemes kalau lihat tulisan yang gak sesuai. Saya juga gak jauh-jauh dari EBI untuk dijadikan acuannya
Makasih sudah berbagi pengalaman, mbak…
Waaah mbak, Dewi malah salut dengan para Editor. Dewi pernah merasakan bagaimana susahnya jadi editor first layer. Sebuah pengingat yang baik, dengan begini Dewi bisa berterimakasih dengan para editor yang akan banyak membantu buku solo Dewi kelak:)
Selamat ya Mbak Dewi, semoga buku solonya lancar terbitnya. Aamiin.
Aku suka gemes, tapi melihat tulisan sendiri hehehe #dikeplakpanci. Beneran mba judulnya serius banget ini, tapi aku nyaman baca poin-poinnya sampai akhir. Penting banget peran editor ini untuk setiap naskah buku yang terbit, pekerjaan dibalik layar yang bikin buku tambah menarik dan nyaman dibaca 🙂
Kwkwkwkk sayang pancinya dong, ah….
Memang kalau sudah menjadi fokus utama kudu bener-bener fokus ya kak, prioritasin dulu yang penting. Dan yak jadi editor itu menyenangkannya belajar sekaligus dapat wawasan baru seperti tata bahasa, kata2, dan pengetahuan. Seru ey 😀
Betul, Mbak Marfa, serunya di situ, harus update kata terus 🙂
keren mba jadi editor, saya masih belajar nulis dan suka typo, harus ngurangin typo nih, kali kali ntar bikin buku, kasian editornya, typo dimana mana ^_^
Namanya juga proses kan, mbak. Tetap semangattt!!
Aku kebayang nano-nanonya punya profesi editor. Apalagi jika harus mengedit naskah yang super bikin pusing. Atau enggak, ketika harus berdebat panjang kali lebar dengan penulis. Jadi sebenarnya kalau udah terjun di dunia editor ini selain harus teliti juga harus sabar banget, hehe
Iyak mbak, sabarnya ini perlu diperbanyak 😀
bunhas, ini noted banget deh..tapi buatku ga ada bakat buat jadi editor deh hihi karena memang harus detail dan kadang aku suka gasabaran aja gitu hehe
Mana tahu besok alih profesi, Dys… 😉
Dulu pernah mikir pengen jadi editor gitu, tapii yaah kemampuan buat tulisan sendiri masih rata-rata, ternyata cukup banyak juga skill yang dibutuhkan untuk menjadi editor ya, baiklah harus mulai belajar dari sekarang.
Semangattt, mbak. Yang penting mau belajar :*
Mbak kalo mau jd editor itu gmn y? Mksdnya apa ada lembaga utk kita melamar jd editor gitu? Atau kita sendiri yg menobatkan diri jd editor?
Coba kirim lamaran ke penerbit, mbak.
Atau ikut banyak konunitas menulis sambil cari info penerbit indie atau mayor yang membutuhkan editor.
Bisa juga diawali dari ikut training editor.
Poin ikhlas karena namamu tidak dikenal ini bikin aku ngakak. Benar juga ya jarang editor yang terkenal karena kebanyakan penulisnya malah yang terkenal.
Iyap, mbak kwkwk
Waktu kuliah pengen jadi editor di penerbitan buku, alhamdulillah terlaksana dan lumayanlah jadi pengalaman luar biasa selama bekerja sebagai editor buku
Alhamdulillah jadi banyak pengalaman ya, mbak. Terutama tentang update kata 🙂
aku dulu cita-citanya jadi editor buku mba kwkwkw makanya semangat buat kuliah. Tapi gagal wkwkwk sekarang ya masih nulis, tapi lebih ke ngeblog baru punya 7 buku solo aku. Maakasih mba udah disharingin ini
Kerennn 7 buku solo. Sudah punya dasar untuk menjadi editor tuh, Mbak Nyi 😉
Aku sempat pengen sih jadi editor, tapi begitu tahu syarat-syaratnya kayanya udah nggak masuk deh. EBI aja nggak hafal, belum lagi soal kesabaran. Haduh nggak lolos deh jadi editor, wkwk.
Gak harus dihafal, Mbak Marita. Yang penting selalu lihat contekan KBBI hihiiii….
Editor itu benar-benar melelahkan ya, apalagi sebuah buku yang diedit harus benar-benar rapi dan tidak ada kesalahan. Saya bahkan pernah ketemu di beberapa buku best seller ada typo satu atau dua tetapi lumrah karena editor juga manusia.
Kalimatnya keren, mas. “Editor juga manusia”.
Aku pernah terpikirkan buat nyoba jadi editor. Tp profesi ini ternyata butuh ketelitian bgt ya. Dan kudu jeli melihat sesuatu. Hehe, apalagi utk karya orang lain.
Semangat, Mbak Melly….
saya editor amatir yang sering cari peluang diantara skripsi teman-teman hehe. Kira-kira bisa naik jabatan jadi editor buku nggak ya? Lain kali bikin tips supaya diterima jadi editor jarak jauh dong mbaa 😀
Sudah punya pengalaman dong Mbak Fira. Tinggal ngegas aja ke penerbit 🙂
wah bener bgt si, novel best seller aku ga tau editornya siapa. jd siap2 ga bakalan terkenal ya
Selamat ya Mbak Inez, novelnya best seller.
Selain penulisnya, editornya juga pasti keren.
wah ternyata syaratnya banyak dan berat ya mbak. Untuk orang yang moodyan kayaknya susah jadi editor heheheh
Wkwkwkw.. sama lah, Nilai bahasa Indonesiaku jauh lebih baik dari yang lain, mungkin ada bakat ngarang ya.. jadi deh blogger .. Tapi jadi seorang Editor itu keren sih menurut saya 😀
Wah mbak ternyata jadi editor banyak juga ya syaratnya, mana saya jga disuruh jadi editor 4 cerpen buat Komunitas menulis gitu saya jadi binguuuuuung. Eh malah curhat mbak
Maju terus pantang mundur, Mbak Meykke. Apalagi jago bahasa Inggris seperti dirimu, nilainya plus-plus.
Boleh nambahin tipsnya mbak?
“Mampu mencari kata dan mempergunakan kamus di KBBI” hahahaha iya, dulu ada loh teman saya editor tapi suka kebolak balik cari kata di KBBI.
Bte selamat ya untuk pilihannya, semoga sesuai dengan cita dan keinginan dirimu, mbak….
Boleh bangettt, mbakkk…
Makasih yaaa tipsnya heheheee…
berat kalau pekerjaan sebagai editor itu kalau kataku pribadi, butuh sebuah ketelitian yang pake banget. Karena kadang banyak yang lupa menuliskan tanda baca dan typo.
Emang beratttss, kata Dilan kwkwwk…
Makasihhhh, Mas Ilham.
1. Selamat mengemban tugas jadi editor ya Mba 🙂
2. Wawasan kosa kata memang musti luas banget nih Mba… tentu saja musti terlatih ya. Kalau tidak, rentan lolos kata-kata yang tidak baku 🙂
Siappp, makasih banyak nasihatnya, Mas Ari. Saya masih harus banyak belajar juga pastinya.
Dulu aku sempat punya keinginan bekerja di bidang perbukuan, salah satunya sbg editor. Tapi rupanya gak berjodoh di situ, malah adikku yg berjodoh. Kalau suka buku biasanya emang enjoy juga kerja di perbukuan ya.
Semangattt, mbak. Kalau jodoh pasti besok bertemu lagi *ehhh qiqiqiiii…
Mungkin memang jalannya begitu, karena saya sendiri gak menyangka bisa nyemplung di dunia penyuntingan ini.
Tambahan Bunhas, jadi editor harus siap sedia tetes mata, kompres mata, dan kacamata, hwkwkwkwk…..
Semangatttt mbak…
Bravo Editor!!!
Hahahaaaa maafkeun baru baca sekarang.
Makasiyyy ya kakak edi senior motivasinya.
Love u to the moon n back. Muacchhh…
Bener banget, editor itu harus ekstraa sabar. Apalagi naskah yg titik komanya nggak jelas. Pengen teriak “Naskah kamu jelek! Perbaiki dulu baru setor ke saya.” wkwk …
Hahahaaa… Jangan teriak, Ust, tetangga denger. 😄
Pengalaman juga sebagai editor musti punya spek laptop yang kompeten, soalnya berat di rendering dan kalau loading berat dipikiran wkwk, baru kemarin aja ane ganti laptop beli di ACE Hardware Indonesia. Mudah-mudahan si bisa stabil utk editing.
Wah, boleh juga nih sarannya, Mas. Doakan, semoga bisa segera beli laptop baru ya.